Kita harus tega meninggalkan mereka.

Tentu saja, jika tidak,  kita yang akan ditinggal oleh mereka, atau mereka yang lainnya. Manusia memang ditakdirkan untuk menjadi makhluk sosial, yang selalu bergantung kepada makhluk lainnya. Namun, ada saat-saat kita harus percaya pada diri sendiri dan melangkah sendiri.

Sejak kecil kita seringkali mendengar nasihat untuk bertemanlah sebanyak-banyaknya, dan pilih-pilihlah dalam berteman. Ada benarnya juga, melebarkan selebar-lebarnya pertemanan untuk kemudian belajar dari lebarnya pertemanan, dan menyeleksi mana yang akan terus diperjuangkan, bukan berarti memutuskan tali pertemanan yang tidak sesuai dengan kita.

Seiring berjalannya waktu, alam yang akan membantumu dalam menyeleksi sebuah pertemanan. Misalnya pada saat kita menjadi mahasiswa baru, semua orang di sekitar kita ajak kenalan, dijadikan teman. Kemudian dalam satu kelas akan mengurucut, mana yang akan kita pilih untuk menjadi teman “genk” kita, teman ngopi, teman diskusi tugas, teman bolos dan lain sebagainya.

Beberapa semester berlalu, mungkin dalam hitungan bulan, bahkan minggu. Kita akan berteman dengan teman-teman dalam suatu organisasi, ekstra maupun intra kampus. Teman-teman yang satu kelas yang waktu awal masuk sangat dekat, kemudian berkurang instensitasnya, kita akan lebih dekat dengan teman organisasi kita, karena kita pikir mereka orang-orang dengan satu pemikiran dan mempunyai pandangan, atau cita-cita yang sama.

Satu tahun, dua tahun berlalu. Teman-teman satu organisasi kita sudah mulai mempunyai teman lainnya, atau mungkin kita yang sudah melebarkan sayap pada pertemanan lainnya. Teman-teman satu organisasi kemudian berkurang intensitasnya karena kita sedang berteman dengan lingkaran teman lainnya, mungkin teman di tempat magang, atau mungkin pacar yang baru beberapa minggu jadian, tentu masih harum dan mekar-mekarnya. Waktu akan lebih banyak dihabiskan bersama pacar dan teman-teman di lingkaran lain mulai sedikit berkurang intensitasnya, atau bisa jadi sebaliknya, tergantung bagaimana selera kita dalam bergaul.

Sedangkan ternyata, satu demi satu teman satu kelas kita sudah ada beberapa yang siding skripsi, kemudian lulus. Kita pun mulai bernostalgia, “si A yang dulu di kelas pendiam” atau “dulu si A nih bolos bareng ke acara konser Sheila On 7, sekarang sudah lulus saja”, pada saat itu kita mulai merasa sedikit tertinggal atas kelulusan si A yang dulu menjadi teman sekelas.

Menjalin pertemanan itu perlu, dan harus. Namun kita pun perlu melihat dan meresapi apa niat kita di awal, mungkinkah ini bisa berjalan berbarengan, atau ini harus dilakukan seorang diri dan menjadi tanggung jawab diri sendiri. Oke jika pada suatu kelompok kita harus berjalan berbarengan dan mau bersama, namun pada hal lainnya misalkan pada studi perkuliahan, ini adalah tanggungjawab kita sendiri dengan orang tua atau siapapun yang membiayai dan memberi kepercayaan untuk kita kuliah. Pada saat itulah kita harus menjadi egois dan berani melangkah sendirian untuk diri kita sendiri dan orang-orang yang menanti kita di rumah.

Berlanjut setelah lulus, kita masuk dalam dunia pekerjaan. Kita memasuki fase awal lagi sebagai pekerja, atau orang membuat lapangan pekerjaan. Kita jalin relasi sebanyak-banyaknya, kita utaran visi, dan misi kita dalam bekerja dan target beberapa tahun ke depan. Misalkan saja kita masuk dalam suatu perusahaan, kita awal berkenalan dengan siapapun orang yang bekerja di perusahaan tersebut, kemudian mulai menciut lagi lingkar petemanan kita, kita akan berteman dengan orang-orang satu bidang kita, dan seterusnya.

Sampai pada akhinya kita akan menemukan satu teman yang akan menjadi teman abadi kita, sadar tidak ada yang abadi, setidaknya teman hidup, teman yang akan kita ajak dalam mengarungi bahtera rumah tanggga, dan teman yang akan menjadi alasanmu untuk pulang, keluarga.

 

 

Bandung, 2018.

 

 

  • siapapun yang membaca tulisan ini, saya haturkan terima kasih, dan silakan komentari untuk saran maupun kritiknya.