Gambar oleh Yayak Yatmaka

 

[Mohamad Chandra Irfan]

 

jerit bayi di malam itu

lolongan anjing dari arah hulu

seketika menjadi beku

saat kepalaku dihantam kayu

saat kemaluanku disileti

betapa ngilu dan menyakitkan, Mak

 

malam itu, aku baru saja mengantar

emak pergi ke sumur, untuk berwudhu

belum sampai ke bibir pintu

emakku ditendang, sementara kulihat bapakku

diseret dari dalam rumah, bapak tidak berteriak

sedikit pun, mata bapak semakin memerah

ibu tersungkur ke tanah, wajahku banjir darah

 

bajingan!

 

di tangan mereka, yang punya senjata

nyawa manusia bagai tomat busuk

diinjak untuk kemudian dilemparkan ke sungai

 

aku jadi teringat apa yang dikatakan emak

selepas berwudhu malam itu; mereka tidak

butuh negara ini jadi sosialis, mereka hanya

butuh negara ini menjadi sangat kapitalis

 

karenanya, emak harus menjadi perempuan

yang melawan, dan bapak harus menjadi

laki-laki yang melawan juga—karena dengan

begitu, kita tidak terperangkap dalam pusaran

sejarah yang dimanipulasi

 

jerit bayi di malam itu

lolongan anjing dari arah hulu

seketika menjadi beku

saat kepalaku dihantam kayu

saat kemaluanku disileti

betapa ngilu dan menyakitkan, Mak

 

di pagi yang genting, di daun yang anggun

dan di hadapan angkatan darat

aku seorang manusia yang dibuang

dari tanah sendiri, dari air sendiri

serupa dendang seorang petualang

aku memimpin organisasi

mendorong petani, buruh, mahasiswa

kaum miskin kota, perempuan

untuk tidak buta politik

 

tapi sejarah di negeri ini

orang mau belajar sejarah yang benar

mau menegakkan ekonomi dan politik

beralaskan kerakyatan, akan ditumpas

oleh angkatan darat, ingat, sekali lagi

oleh angkatan darat

 

karena punya senjata

mereka sukanya menghabisi nyawa manusia

jerit bayi di malam itu

lolongan anjing dari arah hulu

seketika menjadi beku

saat kepalaku dihantam kayu

saat kemaluanku disileti

betapa ngilu dan menyakitkan, Mak

 

sejak malam itu

malam di mana di gang-gang sempit

di hutan-hutan, di pesisir pantai

di pegunungan, adalah parade darah

 

jika dulu dunia pernah banjir bandang

maka di malam itu adalah banjir darah

 

semua yang berhaluan kiri

bahkan PKI, harus mati

 

dunia mencatat

sejarah peperangan

tak ada yang segila itu

tapi di Indonesia

pembantaian 6 jam itu

benar-benar dilakukan

dalam tempo yang

sesingkat-singkatnya

 

aku sedang membayangkan

di tahun 65, tahun di mana

seluruh gerakan revolusioner

ditumpas habis

 

saat ini, di hadapan kalian

aku ingin menyerukan

sejarah mesti dikembalikan

pada yang sesungguhnya!

 

saat ini, di hadapan kalian

aku ingin menyampaikan

militerisme harus dihapuskan

isilah dengan budaya welas-asih!

 

kembali

 

jerit bayi di malam itu

lolongan anjing dari arah hulu

seketika menjadi beku

saat kepalaku dihantam kayu

saat kemaluanku disileti

betapa ngilu dan menyakitkan, Mak

mak, izinkan aku mati dalam keadaan kiri

memperjuangkan sejarah yang dikhianati!

 

 

2017

Mohamad Chandra Irfan alumni Pondok Pesantren KH. Zainal Mustahafa, Sukamanah, Tasikmalaya. Tercatat sebagai mahasiswa Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, Fakultas Seni Pertunjukan, Prodi Teater. Menulis puisi, esai, lakon teater, meyutradarai dan menjadi aktor teater. Puisi-puisinya sempat dimuat di media massa, cetak dan online, lokal maupun nasional juga terhimpun dalam beberapa dalam antologi bersama. Aktif bergiat di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Daunjati ISBI Bandung, Sanggar Sastra Tasik (SST), BEM ISBI Bandung, Solidaritas Rakyat untuk Demokrasi (SORAK) Bandung, Zeus Theatron, dan Pembebasan Kolektif Kota Bandung (Pembebasan).